Laporan Fiser Wakulu, Ternyata Ada Aktivis Penyu di Minahasa

Laporan Fiser Wakulu, Ternyata Ada Aktivis Penyu di Minahasa
Melky Kansil, seorang aktivis pecinta Penyu saat melakukan pelepasan Anak Penyu di Pantai Tulaun Kecamatan Kombi. Foto: Fiser Wakulu
KOMBI – Pasir putih yang lembut menjadi pijakan kaki wartawan Fajarmanado.com. Yah, di Desa Tulaun Kecamatan Kombi, tepatnya, suatu wilayah pemukiman di kawasan pesisir pantai Timur Kabupaten Minahasa. Ternyata ada aktivis Penyu di Minahasa.

Untuk mengakses wilayah tersebut, hanya butuh waktu dua jam jika menggunakan kendaraan bermotor dari pusat Kota Tondano. Dari Tondano, anda akan melewati beberapa desa dan ladang perkebunan sebelum sampai di Tulaun.

Sepanjang pesisir Tulaun sampai ke Pantai Kawis wilayah Tulap, anda akan melihat jejeran penangkaran Penyu. Hewan amphibi, yang diklaim tertua di wilayah itu, hanya berada di samping rumah Melky Kansil, warga dese setempat.

Melky ternyata adalah salahsatu dari sedikit aktifis pecinta penyu di daerah Toar Lumimuut, sebutan khas wilayah Minahasa (raya). Pria paro baya ini mengaku tergerak dan terpanggil menyelamatkan populasi Penyu sejak tahun 1986 silam.

Melky pun tak ada peduli. Meski orang di sekitarnya doyan mengonsumsi daging Tuturuga, nama familiar Penyu bagi warga Sulut ini, bersama isterinya, dia tetap tekun melakukan penangkaran, kemudian melepaskan anak Penyu ke laut melalui pantai Timur Minahasa.

“Saya tak peduli walau pun tak ada pihak lain yang membantu. Saya cuma tergerak mendengar dari aktivis hewan langka dan pemerintah bahwa Penyu mulai terancam punah, makanya saya melakukan penangkaran,” katanya.

Melky menilai pemerintah tidak ada perhatian terhadap pelestarian Penyu di kawasan ini, mulai dari pemerintah provinsi, kabupaten hingga kecamatan. “Tapi setiap bulan saya selalu memasukan laporan ke pihak provinsi. Kalau saya tidak masukan, mereka telepon meminta laporan itu,” ujar Melky.

Bahkan, menurutnya, ia pernah diminta membawa tukik yang baru menetas ke Kumuh untuk melakukan pelepasan. Ketika itu ada tamu dari pusat yang datang untuk kepentingan pelestarian Penyu.

“Waktu itu saya disuruh bawa bibit Penyu. Saya perhatikan, saat itu ternyata ada tamu dari pusat,” jelasnya.

Ia  juga mengatakan jika saat itu sempat berpikir jika dirinya hanya dimanfaatkan oleh instansi di daerah. Sebab, setelah tamu dari pusat meninggalkan daerah ini, instansi terkait baik dari provinsi maupun kabupaten tidak peduli lagi.

Meski begitu, Melky mengaku bila pejabat dan pegawai instansi terkair dari provinsi dan kabupaten terkadang datang melakukan peninjauan di Tulaun. “Mereka datang, foto sana sini, minta data dan (kemungkinan) buat buat laporan. Lebih dari itu, tidak ada samasekali,” ujarnya.

Melky mengatakan, pemerintah daerah tak pernah memberi subsidi untuk kegiatan pelestarian Penyu di wilayahnya. Yang melakukannya hanya para relawan yang tidak digaji.

Melky bersama dengan rekan-rekan aktivisnya bekerja melakukan pelestarian Penyu selama ini hanya karena panggilan hati nurani. “Kami tidak peduli, sepanjang kami bisa tidak akan meminta bantuan dari pemerintah,” ujarnya.

Namun kini dia menyadari jika usaha mereka terkesan dimanfaatkan oleh instansi teknis, baik di kabupaten maupun di provinsi. “Kalau tidak ada anggarannya, tidak mengapa. Tapi jika ada, tolong disalurkan kepada teman-teman,” paparnya.

Meski hidup keluarganya penuh dengan keterbatasan, Melky berharap, sekali lagi, bila pemerintah daerah punya alokasi dananya, agar diteruskan kepada kelompok penangkar.

Menurut Kansil, di saat banyak masyarakat tertidur lelap, ia dan beberapa rekanya warga Tulaun berpatroli di pesisir pantai untuk mencegah jangan sampai ada pemburu penyu yang berkeliaran.

“Setiap bulan purnama, itu adalah waktu bagi pemburu Penyu berkeliaran. Namun yang paling banyak Penyu bertelur antara bulan Maret sampai Juli.  Kami berjalan di pesisir pantai. Ketika melihat Penyu, kami langsung membalikan badan penyu tersebut. Kan penyu ketika berada di daratan kemudian badanya dibalik, mereka tidak bisa lagi berbuat apa-apa,” jelas Kansil.

Mengenai permohonan bantuan kepada pemerintah, Melky mengaku pernah melakukan. Ia mengaku pernah mengurus proposal permintaan bantuan untuk operasional relawan pecinta penyu.

Permohonan itu, katanya, membuahkan hasil. Mereka memperoleh bantuan uang tunai sebesar Rp1 juta. Namun setelah dihitung dengan biaya operasional bolak balik ke Manado, ternyata malah merugi. “Waktu itu kami mengusulkan bantuan kepada pemerintah provinsi,” ungkapnya.

Baca Selanjutnya/Klik 2 >>

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *