Oleh Ir. Dony Mulyana Kurnia (DMK), Aktivis 98
TAHUN 2025, sempat diwarnai dengan usulan Presiden Prabowo Subianto, agar Pilkada Gubernur, Wali Kota dan Bupati kembali dipilih oleh DPRD Provinsi dan DPRD kota/kabupaten.
Alasan krusialnya, karena pemilihan langsung berbiaya mahal, lebih baik uangnya dipakai bagi kelangsungan hidup masyarakat yang masih sulit.
Seiring dengan usulan presiden tersebut, menggelindinglah diskursus di setiap kalangan elemen bangsa, hingga partai-partai pun mulai merespon.
Pro-kontra bermunculan. Jika usulan presiden itu diterapkan, akan terjadi kemunduran demokrasi.
Bahkan merebak pula anggapan bahwa presiden anti demokrasi, yang akan mengembalikan negara ke sistem ORBA karena spirit Reformasi dengan pilkada langsung yang merupakan representasi kedaulatan Rakyat, terdegradasi.
Sesungguhnya usulan Presiden ini ada hal menarik bagi perbaikan sistem bernegara, terlepas dari pro kontra yang terjadi atas usulan presiden tersebut.
Satu keniscayaan seiring waktu diperlukan perbaikan sistem bernegara, bagi kekuatan eksistensi negara, yang rentan dengan berbagai gelombang badai menerpa, mengancam pecahnya kapal persatuan Indonesia.
Setiap saat bangsa Indonesia di suguhi pro kontra yang tidak ada hentinya. Pro kontra ini terus menggerus ketenangan kehidupan masyarakat, dan kristalisasinya akan bermuara pada kapitalisasi konflik-konflik akut.
Manajemen konflik yang di bangun negara pun belum tentu akan selalu kuat, jika tidak ada perbaikan sistem bernegara yang sesuai dengan kondisi zaman.
Mari kita jujur melihat kerentanan konflik yang terjadi akibat sistem bernegara yang sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi yang ada.
Untuk itulah bangsa Indonesia, sudah saatnya memikirkan sistem bernegara yang lebih baik dan sesuai dalam melihat situasi kondisi sa’at ini.
Pilihannya jelas mengarah untuk kembali kepada sistem Parlementer, menggantikan sistem Presidentil yang terlihat tidak relefan lagi di dalam memperkokoh dan memperkuat sistem ketatanegaran.
Sistem Presidentil rentan perpecahan, bahkan sudah mengarah membuat terjadinya kanalisasi konflik-konflik akut di Indonesia. Kondisi minor ini sejatinya bisa di antisipasi oleh sistem Parlementer.
Secara garis besar bisa di kupas intisarinya :
Sistem Parlementer sudah di berlakukan di Indonesia, oleh the founding father sejak 1945 hingga 1959 atau selama 14 tahun masa Orde Lama.
Bisa di bayangkan betapa kuatnya sistem ini, untuk menahan gejolak negara yang masih sangat rentan untuk bubar dalam seumur jagung, selain situasi agresi Belanda dan sekutunya yang berkehendak menguasai kembali Indonesia. Ditambah lagi adanya pemberontakan-pemberontakan dalam negeri yang sama sekali tidak bisa di anggap ringan,
Di sinilah peran pemerintahan yang dipimpin perdana menteri, yang mampu menahan beban berat negara dari kehancuran.
Eksistensi Presiden sebagai kepala negara dan simbol negara dengan dikawal Perdana Menteri, terbukti kokoh tegak berdiri, dan bisa menjadi sumber kekuatan persatuan dan perjuangan mempertahankan negara dari kehancuran.
Dengan bukti tersebut, sesungguhnya jatuh bangun pemerintahan yang dipimpin Perdana Menteri di saat itu, sangatlah wajar jika dibandingkan dengan hasil dan prestasi mempertahankan eksistensi negara dari gempuran gelombang badai penghancur negara, baik dari luar ataupun dalam negeri sendiri.
Premis Dekrit Presiden tahun 1959, yang memulai sistem presidentil, dari titik itulah dimulainya Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan yang dipersatukan dalam kepemimpinan seorang presiden. Dan dari sejak itulah kepala negara menjadi tidak terhormat lagi, ditandai dengan dimulainya serangan-serangan politis langsung dan frontal kepada presiden selaku kepala pemerintahan.
Terbukti, Presiden Soekarno, sang proklamator ini, jatuh di tahun 1967. Apapun dalihnya, hanya bertahan 8 tahun, dari sejak dekrit presiden.
Sistem Presidentil terus di pertahankan di era orde baru, era reformasi hingga saat ini.
Seiring perjalanan waktu, nurani bangsa tidak bisa dibohongi, bahwa sistem ini membawa pada ketidakjelasan antara Incumbent dan Oposisi, yang membuat semua kekuatan politis berorientasi pragmatisme politis, dengan minimnya adu gagasan yang merupakan parameter produktivitas demokrasi.
Dengan berpacunya pragmatisme politis inilah sehingga terjadi biasnya pembatas antara incumbent dan oposisi.
Yang terjadi sekarang ini, adalah incumbent rasa oposisi, dan oposisi rasa incumbent. Akibatnya, setiap ide gagasan demokrasi yang produktif dan utuh menjadi redup, tertutup oleh bayang-bayang sistem munafik, mencla-mencle, tidak ksatria, bahkan bangga dengan dosa-dosa politik menggunting dalam lipatan. Itulah yang terjadi, sinetron politik yang memuakkan di tanah air Indonesia tercinta.
Momentum usulan Presiden Prabowo untuk pilkada kembali dipilih oleh DPRD, adalah satu keniscayaan. Jika kembali kepada sistem parlementer, otomatis Gubernur, Bupati dan Wali Kota dipilih oleh DPRD, sederajat dengan Perdana Menteri yang dipilih oleh DPR RI dan DPD RI.
Jadi sejatinya, usulan Presiden Prabowo ini, yang terbaik adalah menggelindingnya REFORMASI JILID 2, yang mengembalikan sistem bernegara yang lebih baik, dari Presidentil kepada Parlementer.
Sistem parlementer inilah yang akan menjadikan sistem bernegara lebih sehat, di mana pemilihan langsung eksekutif oleh Rakyat, hanya pilpres.
Dengan demikian, presiden kembali menjadi kepala negara dan simbol negara yang utuh, yang tidak boleh sama sekali dikuyo-kuyo, dan punya kewenangan melantik Perdana Menteri.
Presiden pula punya hak Veto, manakala Perdana Menteri telah nyata-nyata menyimpang dalam menjalankan pemerintahannya.
Dengan adanya kepala negara dan simbol negara yang jelas ini, tentu saja sesuai dengan DNA kerajaan-kerajaan, yang merupakan budaya asli Indonesia, salurannya jelas. Bahwa Indonesia punya “Raja” lima tahunan yang bernama Presiden.
Kemudian Persatuan Indonesia pun menguat di mana adanya pembagian kekuasaan antara Kepala Negara dengan jabatan Presiden, dan Kepala Pemerintahan dengan jabatan Perdana Menteri.
Pembagian kekuasaan ini terutama untuk mengangkat harkat martabat Jawa dan Non Jawa.
Untuk Jawa tentunya mendominasi dalam pilpres langsung dan jadi Presiden, namun non Jawa pun tetap terhormat bisa menjadi Perdana Menteri, tinggal brilian, mumpuni dan bisa terpilih di Parlemen menjadi Perdana Menteri.
Sejarah membuktikan perdana menteri non Jawa adalah sebagai berikut; Sutan Syahrir, Amir Syarifuddin, Muhammad Hatta, Abdul Halim, Muhammad Natsir, Burhanuddin Harahap dan Joeanda Kartawidjaja.***
Penulis juga adalah Ketua Umum DPP Partai Sosial Budaya Nusantara (PSN)
Disclaimer: tulisan ini telah tayang di media online Visi.News pada Sabtu, 27 Desember 2025 Pukul 07.44