Perusahan Nikel di MBD Diduga Tutup Aib, Komisi II DPRD Maluku Geram

John Laipeny

Ambon, Fajarmanado.com–Perusahaan tambang nikel di Maluku Barat Daya (MBD), Provinsi Maluku membuat geram Komisi II DPRD Maluku.

Manajemen PT Batutua Kharisma Permai (BKP), perusahan tambang nikel  di Pulau Wetar, ini diduga menutup rapat “aib” dengan mengaburkan jawaban ketika berdialog dengan tim Komisi II DPRD Maluku, yang dipimpin Wakil Ketua Komisi II, John Laipeny.

Pertemuan yang dilaksanakan serangkaian dengan Komisi II DPRD Maluku melakukan pengawasan tahap I, baru-baru ini, manajemen  PT BKP di pulau Wetar dinilai tidak bersikap transparan.

John Laipeny mengatakan, manajemen perusahan yang telah beroperasi sejak tahun 2018 itu tidak memberi jawaban yang jelas atas setiap pertanyaan tim.

“Masih kabur. Ada banyak hal yang belum jelas, mulai dari kerusakan lingkungan akibat limbah pertambangan, royalti ke daerah, baik untuk Pemerintah Kabupaten MBD maupun Pemerintah Provinsi Maluku, hingga persoalan tenaga kerja,” John Laipeny kepada wartawan di Kantor DPRD Maluku, Senin, 28 April 2025.

Persoalannya, John menilai manajemen PT Batutua tidak terbuka terkait penyebab berubahnya warna air laut menjadi kekuningan di pesisir pantai seputaran area tambang sebagaimana ramai diberitakan media selama ini.

“Untuk dugaan pencemaran air laut dan proses matinya ikan, ada ikan yang naik ke darat, atau ikannya banyak akhirnya mereka ke darat, tidak mendapat jawaban yang rasional,” ujarnya.

“Mendengar penjelasan mereka, selaku ketua komisi, beta ngotot. Beta tanya, apakah mereka yakin ikan itu tidak berancun, bisakah di konsumsi, karena sendimen di muka perusahaan memang sudah kuning,” sambungnya.

Karena tidak mendapatkan data dan penjelasan yang memuaskan, John akan berkoordinasi dengan pimpinan dewan untuk menempuh langkah selanjutnya.

Mengenai penyebab ikan-ikan yang mati, katanya, dirinya akan arahkan agar Dinas Lingkungan Hidup melakukan uji lab, dalam pertemuan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dalam waktu dekat.

Menurutnya, uji lab tersebut sebenarnya telah disampaikannya sejak awal Januari atau Februari, namun tidak terlaksana hingga pertengahan bulan April ini. Dinas Lingkungan Hidup, beralasan karena keterbatasan anggaran.

“Ini nanti akan saya ingatkan lagi kepada dinas lingkungan hidup pada saat RDP mendatang karena uji lab itu sangat penting untuk menjawab dugaan limbah perusahan itu beracun atau tidak,”  ucapnya.

Menyinggung limbah yang dibawa ke Morowali, kata Laipeny, penjelasan perusahaan merupakan olahan lanjutan untuk digunakan sebagai penutup batrei. Dimana perusahaan tersebut di bawah naungan Merdeka Copper bersama PT Batutua.

“Jadi selama ini orang di Wetar sampaikan itu. Mereka buang limbah dan dibawa ke Morowali, ternyata itu di olah lanjut. Jadi tidak ada masalah kalau benar,” ucapnya.

John juga menyorot soal Royalti, sebab selama ini Pemerintah Daerah Kabupaten MBD maupun provinsi tidak mendapatkan apapun. Padahal menurut Perusahan setiap produksi royalti selalu diberikan melalui Kementerian Keuangan.

“Sayangnya mereka tidak mau terbuka pula berapa besar royalti yang diberikan ke kementrian setiap tahun,” ketus John.

Selain royalti, perusahan juga tidak terbuka soal berapa banyak sendimen yang telah dihasilkan dari produksi selama beroperasi.

“Jadi royalti mereka stor semua ke kementerian keuangan. Ini sama dengan kehutanan, ada penerimaan itu, cuma belum terbaca. Jadi sudah terang benderang, tetapi juga tingkat kejujuran belum 100 persen,” ungkapnya.

Sebagai tindak lanjut, menurutnya, dari hasil akhir monitoring 11 kabupaten/kota, pihaknya akan mengagendakan untuk melakukan RDP dengan dinas ESDM untuk menanyakan hal ini langsung.

“Uang penerimaan ini masuk di mana. Apakah murni dananya masuk ke kas Pemda Maluku, atau dalam bentuk program. Kalau dalam bentuk program apa programnya,”cetusnya.

Tenaga Kerja

Politisi Partai Gerindra ini juga kesal mendengar bahwa dari 1200-an pekerja di PT BKP, ternyata asli anak daerah tidak sampai 100 orang. Lainnya berasal dari Kupang,  NTT, karena rekrutmen tenaga kerjanya dilakulan di Kupang. “Ini sangat disayangkan,” tandasnya.

Untuk itu, John mendesak supaya home base perusahaan tersebut harus berada di pusat ibu kota provinsi Maluku, Ambon. Sehingga, bisa mengcover anak-anak asli daerah dari bumi Siwalima, termasuk MBD.

John menyoal pula  program Corporate Social Responsibility (CSR). Karena sesuai data, dari 23 desa yang ada di pulau Wetar, hanya dua desa yang menerima program tersebut, yaitu Uham dan Lurang, yang berdekatan dengan lokasi tambang.

Untuk itu, kedepan ia mendorong agar seluruh program CSR dapat menyentuh seluruh desa, sehingga semua masyarakat di Pulau Wetar dapat menikmati hadirnya perusahaan.

 

[ketty mailoa]

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *