Amurang, Fajarmanado.com – Otoritas Syahbandar Pelabuhan Amurang belum bisa bekerja maksimal untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan di Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) dan Minahasa Selatan (Minsel) khususnya.
Pasalnya Kapal Marine Vessel Power Plant (MVPP) Karadeniz Powership Zeynep Sultan (KPZS) yang berlabuh di Perairan Amurang sejak 24 Desember 2015 ini belum membayar biaya labuh tambat selama setahun ke otoritas Syahbandar Pelabuhan Amurang.
Kepala Syahbandar Pelabuhan Amurang Eidy Jafar melalui Edwin Maengkom mengatakan, meski pun kapal ‘genset raksasa’ sewaan itu telah membantu mengurangi krisis listrik di daerah ini namun harus tetap membayar biaya labuh tambat.
“Sesuai aturan dan hitungan kami, perusahaan pemilik kapal itu berkewajiban menyetor atau membayar sewa labuh tambat kepada otoritas syahbandar Pelabuhan Amurang sebesar 2,6 miliar rupiah,” ungkapnya.
Kapal MVPP KPZS sewaan pemerintah RI dari Turki ini memiliki kapasitas pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) 120 megawatt (MW). Genset raksasa ini kemudian dikoneksikan dengan jaringan PLTU 2 Amurang untuk mengatasi krisis listrik di wilayah PLN Suluttenggo.
Semula, kapal berbendera Turki dan Indonedia tersebut dijadwalkan tiba di pantai Amurang pada medio Desember 2015, setelah dilepas Presiden Jokowi di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta. Genset raksasa itu pun baru bisa beroperasi awal Januari 2016.
Menurut Maengkom, pihaknya sudah berkali-kali mengingatkan kewajiban pihak perusahaan kapal sewaan dari Turki tersebut untuk membayar kewajiban mereka.
“Tapi sampai sekarang belum ada tindak lanjut, makanya kami terus berkoordinasi dengan Dirjen Perhubungan Laut,” Maengkom.
Ia mengatakan, pihak Zeyneb Sultan mengaku telah menerima surat tagihan orotitas Syahbandar Pelabuhan Amurang. Namun, lanjutnya, mereka masih urung melakukan pembayaran karena masih menunggu jawaban permintaan keringanan membayar PNPB dari Dirjen Perhubungan Laut.
“Yang mengejutkan kami, permohonan yang mereka minta ternyata bukan keringanan karena mengharapkan pengurangan sampai nol rupiah atau tidak membayar sama sekali,” ungkapnya.
Dasar permintaan itu, lanjut dia, karena PNPB tidak masuk dalam kontrak kerja. “Kemungkinan pemerintah pusat menyetujui permintaan itu, sangat kecil sekali. Kenapa baru sekarang mereka mengusulkannya saat kewajiban mereka itu sudah membengkak sampai sebesar 2,6 miliar (rupiah),” ujarnya.
Kewajiban membayar PNPB bagi setiap kapal yang labuh tambat di wilayah perairan Indonesia diatur oleh peraturan dan perundang-undangan.
‘’Jadi, tagihan ini resmi sesuai amanat dan peraturan yang berlaku di Indonesia. Maka dari itu, apabila pemerintah menolak permohonan pihak perusahaan kapal listrik tersebut, mereka pun wajib membayarnya,’’ papar Maengkom, pelaksana harian Syahbandar Pelabuhan Amurang ini.
Ia mengatakan, pihaknya tidak membedakan perusahaan satu dengan perusahaann lainnya yang menggunakan fasilitas otoritas syahbandar, termasuk perusahaan kapal listrik tersebut.
“Namanya telah sandar atau berlabuh di perairan laut Amurang, wajib membayar biaya labuh tambat. Nah, pihak Karadeniz Powership Seynep Sultan memang bekerjasama dengan pemerintah pusat. Tetapi, soal PNPB adalah kewajiban,” tandasnya.
(andries)